Akhir pekan kemarin, saya memenuhi undangan seorang teman untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Yang istimewa, cara merayakannya cukup nyeleneh—bukan pesta makan-makan seperti biasanya, melainkan berendam di pemandian air panas.
Pasangan ini unik: sang istri berasal dari Bandung, sementara suaminya orang Filipina.

Perjalanan Menuju Tangkuban Perahu

Kami berangkat dengan dua mobil—mereka berempat dalam satu mobil, saya menyusul belakangan karena masih ada pekerjaan. Jalan menuju lokasi lumayan menantang. Di salah satu tanjakan yang panjang dan sempit, saya sempat berpikir mobil akan melorot. Untungnya, semua aman sampai tujuan.

Saya tiba di pemandian hampir jam 12 malam. Iya, tengah malam! Sempat terpikir juga, “Ini teman mau ngajak cari wangsit atau pesugihan, ya?” Tapi begitu sampai, ternyata tempatnya asri dan indah, di tengah kebun teh dekat kawasan Tangkuban Perahu.
Awalnya agak waswas juga, karena sebagian besar pengunjung malam itu bertato, kebanyakan laki-laki. Tapi suasananya ternyata sangat damai.

Berendam Tengah Malam

Kami memberikan kue berbentuk hati untuk pasangan yang berulang tahun, lalu langsung berendam. Kombinasi udara dingin dan air hangat dari sumber alami di kawah membuat badan terasa rileks luar biasa.
Kami selesai sekitar pukul 02.30 dini hari.
Teman saya memang sudah menyiapkan rencana tidur di mobil—parkir di area pemandian. Udara yang dingin membuat mobil tanpa AC pun nyaman. Tidur di mobil? Melas? Enggak juga. Saya sudah bawa bantal besar, dan bisa tidur nyenyak malam itu.

Pagi yang Hangat dan Penuh Syukur

Pagi harinya, kami bangun dan menikmati sunrise di kebun teh. Tentu saja, sesi foto-foto tidak terlewat.
Setelah itu, kami diajak ke Gua Maria Karmel, sebuah tempat ziarah Katolik. Yang mengajak kami ke sana adalah si istri—yang beragama Budha. Suaminya Katolik, begitu juga pasangan lain. Di depan Gua Maria, ia berdoa dengan khusyuk. Saya melihat ketulusan di sana, tanpa sekat perbedaan keyakinan.

Perjalanan berlanjut ke sebuah wihara, namanya saya lupa. Di sana kami diajak melakukan ritual kecil yang menarik. Ada sebuah timbangan jungkat-jungkit seperti di pasar. Di satu sisi sudah ada pemberat, dan di sisi lain kami menaruh gelas, lalu mengisi dengan koin sampai seimbang.
Koin-koin itu kemudian dimasukkan ke dalam mangkuk logam di sekeliling wihara sambil memikirkan hal-hal baik. Setelah selesai, kami menghitung selisih koin, lalu mengambil kertas berisi pesan kebajikan sesuai nomor hasil timbangan.

Bukan Musyrik, Tapi Latihan Positif

Ketika kembali ke Jakarta, kami sempat menceritakan pengalaman itu pada seorang teman yang taat beragama. Ia langsung berkata, “Itu musyrik! Upaya Budhanisasi.”
Padahal, bagi kami yang menjalaninya, sama sekali tidak terasa seperti itu. Semua pesan di kertas itu berisi hal-hal positif dan universal.
Intinya bukan pada angka atau ritualnya, tapi pada ajakan untuk berpikir positif dan bersyukur. Bahkan Deddy Corbuzier pernah menjelaskan bagaimana “pesan kebajikan acak” seperti itu bekerja—lebih sebagai cara refleksi diri.

Saya bisa merasakan energi positif dari teman saya ini. Auranya tenang, penuh kasih, dan tidak pernah berkata kasar. Ia bercerita, setiap kali galau atau cemas, ia melakukan hal itu untuk menenangkan diri.
Dan benar—setelah bersama mereka, saya pun merasa lebih positif. Ada satu peristiwa sebelum dan sesudah perjalanan ini yang benar-benar menguji kesabaran saya. Tapi berkat selembar pesan kebajikan itu, saya bisa menanggapinya dengan jauh lebih tenang.

Penutup

Terima kasih kepada Budha, yang mengajarkan banyak kebajikan.
Terima kasih kepada Yesus, yang memperkenalkan kami kepada orang-orang baik.
Dan terima kasih kepada alam, yang memberi ruang bagi kita untuk saling belajar dari perbedaan.

Yuk, tetap positif. Selamat hari Senin!